FLORESPOS.ID – Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) boleh dibilang menjadi salah satu gudang pemain sepakbola di Indonesia.

Jika di kota-kota besar ruang-ruang publik sudah lebih banyak dikapitalisasi, dan para pemain harus bermain di stadion atau lapangan resmi, di provinsi kepulauan ini, masih begitu banyak lapangan non-stadion yang dapat digunakan untuk bermain.

Sejak kecil, anak-anak di NTT pun sudah terbiasa bermain di pinggir pantai di atas pasir, atau di halaman rumah.

Mereka juga kerap menggunakan ruang sempit di kampung-kampung untuk mengeksplorasi bakat sepakbola mereka.

BacaMengenang Setahun Kepergian Bupati Marsel Petu: Tak Ada yang Istimewa

Inilah yang membuat anak-anak NTT bertumbuh dalam iklim pembinaan sepakbola non formal yang keras dan energik.

Dari ruang-ruang kecil itulah mereka menempa bakat-bakat mereka, meski kemudian hanya menjadi pemain desa, kecamatan atau kabupaten, bahkan ada yang menjadi “cadangan mati” (camat).

Baru satu dekade terakhir, sudah mulai banyak pemain lokal dari NTT yang berkiprah di level nasional. Dari sebelumnya hanya satu-dua pemain asal NTT yang bermain di level profesional.

Sebut saja, Yabes Roni Malaifani, penyerang sayap Bali United. Ada pula Alsan Sanda, yang juga pernah merumput bersama Serdadu Tridatu, Bili Keraf (Persib Bandung), dan masih banyak lagi.

Banyak pula pencari bakat sepakbola nasional yang mulai melirik pemain-pemain muda dari NTT. Misalnya dengan turun ke NTT dan menyaksikan para pemain bermain di klub-klub lokal.

Dengan merangseknya beberapa pemain ke level profesional, menunjukkan bahwa NTT memiliki banyak pemain berbakat lainnya; ada potensi besar yang mesti terus digali dari bumi Flobamora.

Salah satu potensi tersebut ditunjukan oleh klub asal Kabupaten Ngada, PSN Ngada, yang pada 2014 lalu menjadi runner-up Liga Nusantara, sekarang berubah menjadi Liga III.

Beberapa tahun ini, PSN Ngada beberapa kali bermain di Liga III, yang membuat NTT makin diperhitungkan di level nasional.

Kekurangan Sepakbola NTT: Pelatif Berlisensi dan Lapangan Memadai

Meski demikian, menurut Yabes Roni, melansir Indosport, Selasa (23/6), jumlah pelatih sepakbola berlisensi di NTT masih terbatas, dalam jumlah yang masih sangat sedikit. Itulah yang membuat sepakbola di NTT tidak kompetitif di level nasional.

“Kami di NTT ini kekurangan pelatih berlisensi. Sebenarnya kalau bakat pemain-pemain di sini banyak yang bagus,” ungkap Yabes.

Selain jumlah pelatih profesional, NTT juga masih kekurangan fasilitas lapangan yang memadai untuk pembinaan sepakbola.

Ia mengambil contoh pembinaan akademi milik Bali United di Kupang. Menurut Yabes, model serupa dapat diterapkan di tempat lain di Provinsi NTT.

“Harapannya bukan cuma di Kupang, tapi ada juga di Alor dan tempat-tempat lain. Kalau punya akademi seperti ini, mereka bersemangat dan termotivasi. Suatu saat nanti pasti bisa bermain di liga profesional serta timnas Indonesia,” pungkas Yabes.

Yabes adalah salah satu pesepak bola paling sukses asal NTT. Ia melejit bersama timnas Indonesia U-19 pada 2014 di ajang AFC.

Pemain berusia 25 tahun itu kemudian merumput di United sejak 2015 hingga sekarang. Tahun 2017, ia dipanggil untuk bergabung di skuad tim nasional U-23.

Selama berkarier, Yabes juga memantau bakat-bakat pemain muda di NTT. Setiap liburan kompetisi, ia sering menyempatkan pulang dan mengunjungi sekolah sepak bola (SSB) di kampung halaman.

Yabes adalah pemain yang menjadi contoh bagaimana sepak bola bisa memberikan perubahan bagi keluarga dan masyarakat.

Selain merenovasi rumah hingga investasi tanah, Yabes juga membantu pendidikan adik-adiknya, bahkan membantu pendidikan anak-anak di kampung halamannya yang kurang mampu.*

Artikel SebelumnyaPasien Positif Corona di NTT Tinggal 33 Orang, Sembuh 77 Orang
Artikel SelanjutnyaPasien Positif Corona di NTT Tinggal 34 Orang, Sembuh 77 Orang