Jasa Besar Orang Flores dalam Pendirian Kompas

FLORESPOS.ID – Para tetua senantiasa berpesan agar jangan pernah melupakan sejarah. Dalam terminologi Soekarno: “Jasmerah”, sebuah akronim dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.

Patah-patah kata ini kiranya merujuk pada idiom klasik yang pernah diungkapkan orator terkenal Romawi, Cicero: “sejarah adalah guru kehidupan” (historia magistra vitae est).

Sebagai orang yang hidup di bawah matahari, saya pun selalu mengamini pendirian para filsuf, salah satunya Giambattista Vico, bahwa “sejarah adalah sebuah perulangan”, atau yang pernah diungkapkan Yuval Noah Harari, bahwa “tidak ada yang baru di dunia, selain produksi dan reproduksi material”.

Karena itu, saya selalu meyakini bahwa apa yang terjadi pada masa lalu selalu memiliki keterhubungan naratif dengan kesadaran kekinian.

BacaHasil Survei: Publik Setuju Jokowi Lakukan Reshuffle Kabinet

Berlatar pemikiran inilah saya mencoba mendudukkan peta kekuatan dan kontribusi orang-orang Flores dalam berdirinya surat kabar kaliber Indonesia: Harian Kompas, pada tahun 1965.

Karena konteks historis ini akan sangat menentukan perspektif khas dari orang-orang (Katolik) Flores tentang Kompas, sekaligus memunculkan sejumput kebanggaan karena namanya terdaftar di antara deretan para pendiri.

Kita tahu bahwa saat ini Harian Kompas telah melakukan diversifikasi produk ke dalam format digital melalu dua platform utama: Kompas.com (2011) dan terakhir Kompas.id (2018).

Tapi sebetulnya ada konteks kesejarahan panjang yang menyertai muasal surat kabar cetak Kompas yang pernah diplesetkan sebagai “komando pastor”, yang bagi orang Flores mesti diketahui.

Dan jika kita menelusuri jejak panjang sejarahnya pada 55 tahun lalu, Kompas sebenarnya menaruh hormat yang besar kepada orang-orang Flores.

Betapa tidak, orang-orang Flores telah berjasa besar dalam pendirian koran cetak paling bergengsi di negara ini.

Jika 3.000 tanda tangan orang Flores tidak tercantum dalam akta pendirian, yang sifatnya agak “conditio sine qua non”, maka kita perlu menggaris ulang kesejarahan dan peradaban intelektual kita; kenyataan bahwa Kompas telah memberi pendasaran epistemologi terhadap cara kita belajar dan menilai realitas Indonesia.

Lebih dari itu, barangkali Kompas atau Grup Kompas, mungkin tidak seperti sekarang yang hadir di depan mata kita.

Permintaan Soekarno

Beberapa referensi terpercaya mencatat, pada tahun 1960-an, Presiden Soekarno mendesak Partai Katolik untuk mendirikan media cetak berbentuk surat kabar untuk mengimbangi kekuatan politik Kiri yang dimainkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Akhirnya direkrutlah beberapa wartawan gaek dari Majalah Intisari, termasuk misalnya Petrus Kanisius (PK) Ojong, Jakob Oetama, dan J. Adisubrata (Blenzinky, 2010).

Kemudian, beberapa tokoh Katolik itu mengadakan pertemuan bersama beberapa wakil petinggi Gereja dari Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI, sekarang KWI), Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik RI (WKRI).

Dalam pertemuan itu mereka sepakat mendirikan “Yayasan Bentara Rakyat”. Yayasan inilah yang kemudian menjadi “batu penjuru” penerbitan Harian Kompas.

Komposisi kepengurusan pertama dari Yayasan Bentara Rakyat adalah Ignatius Joseph Kasimo (Ketua Partai Katolik: 1945-1961) sebagai Ketua; Frans Seda sebagai Wakil Ketua; Franciscus Conradus Palaoensoeka sebagai penulis pertama; Jakob Oetama sebagai penulis kedua, dan PK Ojong sebagai bendahara.

Namun demikian, desakan Soekarno tersebut belum membuahkan hasil maksimal. Akhirnya setelah kepemimpinan Partai Katolik jatuh ke tangan Frans Seda (putra Sikka, Flores) tahun 1961, Jenderal Achmad Yani pun mengungkapkan keinginannya kepada koleganya yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perkebunan dalam Kabinet Soekarno (1963-1968) untuk menerbitkan surat kabar yang berimbang, kredibel, dan independen.

Permintaan sang Jenderal cukup beralasan karena waktu itu koran-koran yang anti-Soekarno dan anti-PKI dibajak pemerintah.

Tanpa berpikir panjang Frans Seda pun mengiyakan permintaan itu. Sedang permintaan Achmad Yani itu juga persis terjadi ketika suhu politik Indonesia sedang memanas.

Barangkali dapat kita bayangkan sepanas tensi politik jelang dan pasca Pilpres 2019 kemarin. Atau malah lebih panas dari saat ini.

Menuruti anjuran koleganya, Frans Seda pun mengatur siasat, karena dia sendiri bukan seorang wartawan, dengan mengajak kedua rekannya, yakni PK Ojong, seorang editor mingguan Star Weekly tahun 1950-an dan Jakob Oetama, editor pada mingguan Penabur milik Gereja Katolik (bdk. Blenzinky, 2010).

PK Ojong dan Jakoeb Oetama sebelumnya telah bersama-sama mendirikan majalah bulanan Intisari pada tahun 1963.

Exit mobile version